Menjawab Perdebatan Pengaturan Aborsi pada PP No 16/2014

ilustrasi aborsi
Ilustrasi : Stop Aborsi (LICOM)

Beberapa hari yang lalu di beberapa tayangan media baik media cetak maupun media elektronik, telah diberitakan bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah mengesahkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi.

Peraturan Pemerintah ini telah mendapat berbagai tanggapan dari semua pihak baik yang pro maupun kontra. Dari beberapa sumber yang telah saya dapatkan ada beberapa lembaga baik itu kementerian, lembaga perlindungan anak (KPAI), para pengajar atau dosen universitas, Majelis Ulama Indonesia (MUI) maupun praktisi kesehatan turut serta memberikan tanggapan terhadap Peraturan Pemerintah tentang aborsi tersebut. 

Beberapa Kutipan Tanggapan Pihak Terkait dari Media Massa


Kementerian Agama Republik Indonesia

Kementerian Agama RI melalui Menteri Agama (Menag) Lukman Hakim Saifuddin mengatakan bahwa keberadaan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 2014 mengenai Kesehatan Reproduksi yang di dalamnya mengatur tentang aborsi sudah sesuai dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). PP aborsi sudah sesuai dengan ketentuan fatwa MUI karena aborsi bisa dilakukan dengan beberapa syarat.

Beliau menyebutkan bahwa salah satu butir dalam PP tersebut telah menyatakan tindakan aborsi menjadi legal dalam kondisi tertentu tetap mengacu pada UU Kesehatan. Pasal 75 ayat 1 menyebutkan setiap orang dilarang melakukan aborsi terkecuali berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan yang dapat menimbulkan trauma psikologis bagi korban perkosaan.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi mengatakan kementeriannya sedang mempersiapkan peraturan menteri untuk mendukung pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang kesehatan reproduksi.

Beliau menyebutkan bahwa keberadaan peraturan menteri itu nantinya akan mengatur mengenai petunjuk teknis, antara lain, berkenaan dengan pembuktian terjadinya pemerkosaan terhadap perempuan yang hendak melakukan aborsi.

Karena berdasarkan Pasal 31 ayat 2 Peraturan Pemerintah  Nomor 16 tahun 2014 menyebutkan tindakan aborsi akibat pemerkosaan hanya dapat dilakukan jika usia kehamilan paling lama 40 hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir. Aborsi harus dilakukan dengan aman, bermutu, dan bertanggung jawab baik secara medis maupun hukum. (Sumber : http://www.tempo.co)

Lembaga KPAI Menolak Diberlakukannya PP Pelegalan Aborsi

Komisioner KPAI Bidang Hak Asasi Manusia khususnya pada anak, Rita Pranawati mengatakan aborsi tidak serta merta dilakukan karena calon ibu mengalami trauma dan dampak psikologis akibat peristiwa yang menyakitkan, sehingga dikhawatirkan akan berdampak pada kondisi si janin selama kehamilan dan ketika lahir kelak.

Beliau berpendapat bahwa harus adanya peran pemerintah dalam hal ini kementrian kesehatan dan komnas perlindungan perempuan untuk melakukan advokasi dan pendampingan secara terus menerus terhadap korban perkosaan dan keluarganya untuk perlahan-lahan menghilangkan trauma dan menerima kehamilan sebagai pemenuhan hak asasi manusia untuk lahir.

Beliau mengatakan sesuai Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, bahwa anak mendapatkan hak asasinya dan mendapat perlindungan bahkan sejak ia masih berada dalam kandungan.

Karena aborsi menurut Rita tidak sejalan dengan mandat undang-undang tersebut. menurut beliau, pemerintah dalam hal ini seperti ingin mengambil jalan pintasnya saja dalam mengatasi permasalahan aborsi yang semakin meningkat dikalangan wanita usia muda. (Sumber : http://www.inilah.com)

Pendapat MUI Tentang Disahkannya PP No 16 2014 Oleh Pemerintah

Ketua Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) bidang Pemberdayaan Perempuan, Tutty Alawiyah mengaku terkejut dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61/2014. Karena PP itu melegalkan aborsi bagi korban pemerkosaan.

Menurut beliau, dengan disahkannya PP tersebut nantinya orang yang tidak bertanggung jawab bisa saja memanfaatkan keberadaan PP ini. Maka perlu dilakukan pendalaman lebih jauh supaya jangan sampai terjadi orang seenaknya melakukan hubungan sex tanpa nikah yang menjadikannya hamil tanpa ada pertanggungjawaban, (Sumber : http://www.republika.co.id)

Tanggapan Ketua Ikatan Dokter Indonesia
“Kami disumpah untuk melestarikan kehidupan. Jadi, saya berharap agar tidak melibatkan dokter dalam tindakan aborsi ” ujar Ketua IDI, Zainal Abidin (Republika, 14/8/204).

B. Meluruskan Perdebatan Pengaturan Aborsi pada PP No 16/2014

1. Hak Hidup Bayi / Janin

Banyak dari kalangan pemerhati hak asasi manusia dan tokoh pemuka agama menolak keberadaan PP No 16/2014, mereka berargumen bahwa dengan pelegalan aborsi yang merujuk pada PP tersebut, secara tidak langsung bahwa pemerintah mendukung terhadap penghilangan nyawa seseorang terutama hak hidup bayi atau janin pada wanita hamil.

Patut diketahui bahwa di dalam pasal 31 PP 16/2014 tersebut dijelaskan bahwa tindakan aborsi hanya dapat dilakukan berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan. Khusus bagi kehamilan akibat pemerkosaan disini diperjelaskan mengenai adanya ketentuan pelaksanaan aborsi hanya pada usia kehamilan paling lama berusia 40 (empat puluh) hari terhitung sejak hari pertama haid terakhir.

Usia kehamilan 40 hari tersebut telah merujuk pada salah satu hadits yaitu hadits Bukhari dan Muslim yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud bahwa pada 40 hari pertama sperma menggumpal menjadi darah dan disana telah terbentuk bakal janin. 40 hari selanjutnya, segumpal darah membentuk menjadi segumpal daging, dan 40 hari setelahnya menjadi tubuh yang lengkap.

Jadi anggapan bahwasannya pengaturan aborsi pada PP No 16/2014 melanggar hak hidup bayi, saya rasa patut untuk diteliti kembali. Karena selama dalam 40 hari pertama terhitung sejak hari pertama haid terakhir, janin masih belum memiliki roh atau nyawa. Dan untuk ketentuan 40 hari pertama tersebut sudah sesuai dengan fatwa MUI Nomor 4 Tahun 2005 tentang Aborsi.

Di dalam fatwa MUI tersebut dijelaskan bahwa melakukan aborsi itu haram hukumnya, sejak terjadinya implantasi blastosis pada dinding rahim ibu (nidasi) kecuali adanya uzur, baik yang bersifat darurat ataupun hajat. Kebolehan aborsi tersebut harus dilakukan sebelum janin berusia 40 hari, jika kehamilan mengancam nyawa si ibu hamil, korban pemerkosaan yang ditetapkan oleh pihak berwajib, dan bukan kehamilan akibat zina

2. PP No 16/2014 Bukan PP Aborsi Maupun Melegalkan Aborsi

Jika melihat secara keseluruhan isi PP 16/2014 tentang Kesehatan Reproduksi, sebenarnya memiliki tujuan untuk mengatur pelayanan kesehatan bagi ibu hamil dimulai dari sistem kesehatan reproduksi, kesehatan reproduksi remaja, masa kehamilan, kontrasepsi, kesehatan seksual hingga reproduksi dengan bantuan.

Kalau melihat isi pasal per pasal pada PP tersebut, hal yang berkaitan dengan legalitas aborsi sendiri hanya bagian kecil, hanya sekitar 9 (sembilan) pasal (pasal 31-39) dari total 52 pasal didalamnya. Dan tindakan aborsi hanya diperbolehkan jika terdapat 2 (dua) alasan yang jelas yaitu berdasarkan kedaruratan medis dan korban hasil pemerkosaan.

Keberadaan Peraturan Pemerintah N0 16/2014 ini merupakan peraturan pelaksanaan dari beberapa pasal yang terdapat di dalam Undang-Undang Kesehatan. Dimana dalam Undang-Undang Kesehatan tersebut disebutkan bahwa pada prinsipnya pelaksanaan tindakan aborsi adalah ilegal atau dilarang dan bagi para pelaku yang melakukan secara sengaja aborsi dapat diancam dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 1 milyar.

Dalam norma hukum ada larangan yang memiliki pengecualian, demikian juga halnya dalam aborsi. Secara prinsip aborsi dilarang, namun dengan syarat dan ketentuan tertentu aborsi dibolehkan. Terdapat 2 hal pengecualian atas larangan aborsi sebagaimana diatur UU Kesehatan yaitu didasarkan pada indikasi medis dan kehamilan akibat perkosaan yang menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan.

Oleh karena itu, larangan aborsi dapat dikecualikan (boleh dilakukan) hanya ketika menuhi syarat dan ketentuan yang diatur UU Kesehatan dan peraturan pelaksananya. Dalam hal ini, tindakan aborsi tidak termasuk tindakan melawan hukum dan pelakunya terbebas dari ancaman hukuman pidana dan denda.

Diperbolehkannya tindakan aborsi sebagai pengecualian larangan aborsi ini, hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling atau bimbingan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang, setelah memenuhi syarat yaitu :
  1. Sebelum kehamilan berumur 40 hari dihitung dari hari pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis.
  2. Atas permintaan atau persetujuan ibu hamil yang bersangkutan.
  3. Dengan izin suami, kecuali korban perkosaan.
Jika syarat diatas terpenuhi, pengecualian larangan aborsi boleh dilakukan sepanjang memenuhi ketentuan bahwa :
  1. Dilakukan oleh dokter yang telah mendapatkan pelatihan oleh penyelenggara pelatihan yang terakreditasi.
  2. Fasilitas pelayanan kesehatan memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.
  3. Pelayanan tindakan aborsi dilakukan sesuai standar, tidak diskriminatif dan tidak mengutamakan imbalan materi.
Sekian dulu catatan saya kali ini, kalau masih berminat mau lanjut membacanya !!. Silahkan baca postingan Pertimbangan Untuk Memilih Klinik Aborsi yang Benar !! Jangan Lupa LIKE dan SHARE yaaa artikel ini.

Penulis: Agustin Oktya R
Editor : Jelita Rahma
Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

Aturan Mengisi kolom komentar dibawah ini :

Diharuskan menggunakan bahasa yang sopan.
Dilarang mengirim pertanyaan yang berbau Spam (diluar kategori bahasan blog).
Tidak diperkenankan memasukkan link aktif maupun non aktif di dalam pesan (kecuali itu permintaan admin).